Selasa, 25 September 2012

Belajar dari Para Leluhur Koperasi Kredit (Credit Union)


“ Secara individu tidak bisa, banyak orang bersama-sama yang bisa”
 (Friedrich Wilhelm Raiffeisen)

Bicara tentang Koperasi Kredit (Kopdit) kita perlu belajar dari para pelopor yang memulainya. Memang tidak terlalu mendetail dan mendalam tetapi ada cita-cita dasar yang menggerakkan tumbuhnya Credit-credit union di berbagai negara di seluruh dunia. Hal itu membuktikan bahwa credit union memiliki nilai-nilai luhur bagi kemanusiaan, sehingga terbukti tahan uji.
 Untuk itu pada bagian ini sekilas dikemukan tentang lahirnya Credit Union di Jerman, Koperasi Kredit di Indonesia dan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Itulah pilar-pilar jaringan Koperasi Kredit yang diikuti oleh Kopdit Ankara. 
Jasa Bapak Credit Union,   FW. Raiffeisen pantas dicatat, karena dari beliau lahir ide dan gerakan untuk memperbaiki nasib hidup rakyat yang ia pimpin. Indonesia  juga mencatat jasa Pastor Albrecht Karim Arbie, SJ yang memperkenalkan Kredit Union yang sudah berkembang di negaranya, Jerman.

1.      Credit Union  bersemi di Flammerfield

Friedrich Wilhelm Raiffeisen (1818 -1888) anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari ayah Gottfried Friedrich Raiffeisen seorang petani. Raffeisen menjadi walikota di Weyerbush (1845), walikota di Flammersfield (1848) menjadi walikota di Heddesdorf(1852). Di kota Flammerfield Beliau mencetuskan gerakan Credit Union setelah gagal menerapkan cara donasi atau derma dari orang kaya dan toko-toko roti.

Pada awal abad ke-19, masyarakat Jerman ditimpa musibah kelaparan akibat musim dingin hebat. Para petani yang menggantungkan hidup pada kemurahan alam tak berdaya melawan keadaan. Karena sulitnya kehidupan di kampung, para petani berbondong-bondong ke kota mengadu nasib mencari pekerjaan sebagai buruh di pabrik-pabrik. 

Karena keadaan sosial-ekonomi yang semakin memburuk, Wali Kota Friedrich Wilhelm Raiffeisen di Flammerfield-Jerman Barat, bertekad untuk mencari jalan keluarnya. Beliau mengundang kaum kaya agar mengumpulkan uang untuk menolong kaum miskin yang ditanggapi secara positif. Mereka mengumpulkan uang dan membagi-bagikannya kepada kaum miskin. Tetapi usaha ini tidak membuahkan hasil dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kaum miskin. Derma atau bantuan cuma-cuma tidak dapat memecahkan masalah kemiskinan. Penggunaan uang tidak terkontrol dan tidak sedikit para penerima derma yang cepat-cepat memboroskan uangnya agar segera minta derma lagi. Akhirnya, para dermawan tidak berminat membantu kaum miskin lagi.

Walikota Raiffeisen menempuh cara lain dengan mengumpulkan roti dari pabrik-pabrik roti di Jerman. Roti-roti yang terkumpul dibagi-bagikan kepada para buruh dan petani miskin. Tetapi usaha ini pun tidak menyelesaikan masalah kemiskinan secara permanen. Hari ini diberi, besok sudah habis, begitu seterusnya. Berdasarkan pengalaman wali kota berkesimpulan: “Kesulitan si miskin hanya dapat di atasi oleh si miskin itu sendiri. Si miskin harus mengumpulkan uang secara bersama-sama dan kemudian meminjamkan kepada sesama mereka juga. Pinjaman harus digunakan untuk tujuan yang produktif, yang memberikan penghasilan. Jaminan pinjaman adalah watak si peminjam.” 

Beliau lalu bersama kaum buruh dan petani miskin membangun Credit Union dengan . tiga (3) prinsip utama, yaitu:
1.  Azas Swadaya;tabungan hanya diperoleh dari anggota,
2.  Azas Setia kawan; pinjaman hanya diberikan kepada para anggota
3. Azas Pendidikan dan Penyadaran; hanya anggota yang berwatak baik yang dapat diberikan pinjaman. 

Credit Union yang dibangun oleh Raiffeisen bersama para petani petani dan kaum buruh berkembang pesat di Jerman, lalu menyebar ke Kanada, Amerika Serikat  lalu ke seluruh dunia. Di Indonesia Credit Union  sudah ada sejak tahun 1950, tetapi baru berkembang lagi sejak dibimbing seorang misionaris asal Jerman bernama Pastor Karl Albrecth Karim Arbie, SJ .

2.      Khabar Gembira di Awal Orde Baru
“Sang perintis utama” Koperasi Kredit (Kopdit) di Indonesia, pantas diterakan pada Pastor Albrecht Karim Arbie, SJ misionaris Jesuit dari Jerman. Beliau adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep Credit Union di Indonesia. Beliau wafat tertembak milisi bersenjata di depan Pastoran Jesuit di Taibessi tanggal 12 September 1999, ketika waktu itu Timor-Timur berada dalam suasana kacau akibat jajak pendapat. Di Timor Timur sebagai Rektor Seminario Menor de Nossa Senhora de Fatima. Tetapi karyanya tetap dijalankan di bumi Indonesia.

Gerakan Credit Union (CU) atau Koperasi Simpan Pinjam (KSP) sudah diterapkan oleh Pemerintah Indonesia memakai sistem Raiffeisen sejak tahun 1955.  Musibah terjadi pada permulaan tahun 1960-an, inflasi melanda negeri Indonesia sangat hebat sehingga banyak usaha simpan – pinjam menjadi lumpuh. Koperasi – koperasi akhirnya banyak yang beralih menjadi Koperasi Konsumsi Serba Usaha (KKSU).

Perubahan kondisi terjadi pada awal pemerintahan Orde Baru, dimana ekonomi negara cenderung stabil. Pengerak ekonomi masyarakat   menghubungi World Council of Credit Unions (WOCCU) atau Dewan Koperasi Dunia yang mendapat tanggapan yang sangat  positif. Tahun 1967  Mr. A.A. Bailey dan Augustine R. Kang diundang ke Indonesia dan dan diterima oleh suatu Lembaga Swadaya di Indonesia yaitu MAWI (Majelis Wali Gereja Indonesia) seksi sosial ekonomi. Mereka memperkenalkan gagasan Credit Union di Indonesia sebagai sarana sekaligus wahana pengentasan masyarakat marginal.

Sebagai tindak lanjut beberapa orang sepakat membentuk wadah Credit Union Counselling Office (CUCO) pada awal Januari 1970 dipimpim oleh Pastor Albrecth Karim Arbie, SJ, untuk memimpin kegiatan operasionalnya. Pemikirannya sangat visioner dan sangat dekat dengan orang kecil, tetapi beliau tidak begitu saja membantu orang kecil. Prinsip beliau : “jangan memberi ikan, tetapi berilah mereka kail untuk menangkap ikan”.  Meskipun banyak hambatan dan tantangan, pastor Karim tidak menyerah dan putus asa. Beliau sungguh dijiwai semangat Ignatius Loyola, yaitu ; “Jangan pernah putus asa dan pantang menyerah!”

Konsep tentang koperasi kredit ditanamkan di masyarakat luas secara terbuka, terlepas dari latar belakang agama, dengan tujuan mendorong anggota masyarakat untuk bekerja sama dan membebaskan mereka dari jeratan para penindas masa kini misalnya; tengkulak/pengijon kaya, lintah darat dan kapitalis serakah. Aspirasi Romo Karim secara murni tercurah pada pembangunan manusia sejati dan seutuhnya, terutama pengembangan kaum miskin dan lemah. Beliau mempunyai daya motivasi yang luar biasa. Demikian kenang Robby Tulus yang menjadi tangan kanan Pater Karim pada awal pergerakan Credit Union.

Untuk mendapatkan legalitas dari pemerintah yaitu Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi yang pada masa itu dijabat oleh Ir. Ibnoe Soedjono, CUCO  menjajaki kemungkinan dikembangkannya Credit Union di Indonesia dan berlindung dibawah naungan Undang – Undang Perkoperasian yaitu, UU No. 12/1967.

Pada  bulan Agutus 1976 diadakan Konferensi Nasional Koperasi Kredit di Bandungan, Ambarawa, Jawa Tengah, Ir. Ibnoe Soedjono sebagai Direktur Jendral Koperasi, dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jendral Koperasi, memberikan restu kepada CUCO untuk melanjutkan kegiatan mengembangkan Credit Union di Indonesia dengan menyesuaikan diri kepada ketentuan – ketentuan  dalam UU No. 12/1967 tentang pokok – pokok Perkoperasian di Indonesia. Sejak itulah secara Nasional nama Koperasi Kredit diganti dengan Credit Union, sedangkan Credit Union Counselling Office (CUCO) diterjemahkan menjadi Biro Konsultasi Koperasi Kredit (BK3).

Kepemimpinan Eksekutif BK3I  (Inkopdit) sejak berdirinya yaitu : Romo Albercht Karim Arbie, SJ, Drs. Robby Tulus, Drs. P. M. Sitanggang, Hubertus Woeryanto dan Abat Elias, SE. Masa kepemimpinan yang diatur secara periodik juga sesuai pesan Romo Karim. Kata Beliau ; “Di dalam gerakan CU yang sehat, kursi tidak boleh melekat pada pantat seorang tokoh atau promotor penting”.

Dasar yang dimulai terus dipupuk melalui pelatihan dan pembinaan-pembinaan sehingga tetap berbuah. Pada awal pembentukan CU mendapat banyak tantangan tetapi sekarang CU disadari sebagai alat untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan serta bebas dari penyakit masyarakat (judi, mabuk, berfoya-foya). 

            Inkopdit memaparkan data perkembangan Kopdit/CU sejak berdirinya CUCO, seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini;  

Tahun
Jumlah CU
anggota
simpanan
pinjaman
kekayaan
dana cadangan
1970
9
733
1.259.187
710.750
1.342.570
67.257
1975
197
14.834
95.463.089
85.322.216
106.272.339
1.775.163
1980
535
56.805
1.124.020.616
1.457.677.140
1.456.763.401
43.129.025
1985
1.308
145.563
7.237.174.298
7.618.001.174
8.801.301.892
306.584.731
1990
1.493
195.487
20.528.020.616
23.533.395.204
26.527.572.671
1.235.409.435
1995
1.601
248.811
59.869.540.791
72.961.383.964
91.286.091.902
6.152.662.041
2000
1.099
256.327
128.113.673.323
189.669.827.031
242.257.907.250
15.509.749.701
2005
980
603.728
1.459.244.555.322
1.483.032.674.195
1.874.915.758.233
51.821.392.230
2009
888
1.330.138
6.262.756.250.428
5.760.613.723.476
7.396.318.277.380
275.479.229.031

Robby Tulus menambahkan bahwa Credit Union mempunyai daya tahan yang cukup kuat dan memiliki ciri-ciri berkelanjutan (substainability) sebagai gerakan demokratis yang dinamis. Kuncinya pada tabungan/simpanan bukan pada hutang. Romo Arbie tidak pernah jera menganjurkan keluarga untuk menabung terus-menerus secara teratur. Menurut Beliau credit union yang baik adalah  yang melakukan pendidikan dan pembinaan terus-menerus, karena akan mempengaruhi sikap mental anggota sehingga mereka semakin berkembang.

Inkopdit awalnya bernama Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) menjalankan fungsi koperasi sekunder tingkat nasional, menjalankan Simpan-Pinjam Nasional (SPN), pelayanan dana perlindungan DAPERMA, pendidikan pelayanan daerah, pelayanan audit dan monitoring serta pelayananan teknologi informasi. Inkopdit dijalankan pada 2 manajemen yaitu BK3I dalam bentuk yayasan dan inkopdit sebagai koperasi sekunder tingkat nasional. Inkopdit mengembangkan pelayanan bisnis, sedangkan BK3I mengembangkan kopdit-kopdit di wilayah baru.

5 wajib CU yang dikembangkan pada masa BK3I; 1). Wajib melaksanakan pendidikan, 2). Wajib mengikuti interlending, 3). Wajib mengikuti DAPERMA, 4). Wajib untuk diaudit dan 5). Wajib membayar iuran solidaritas. Kelima wajib dikuatkan dengan pola kebijakan pengurus inkopdit yang harus disosialisasikan kepada setiap kopdit.

Tata kelola kopdit yang baik dan benar, “Good Credit Unions Governance” yaitu pengelolaan manajemen yang dilandasi kemauan yang baik para fungsionaris kopdit untuk mengembangkan kopdit yang besar, kuat, dan sehat sehingga dapat melayani anggotanya lebih baik.
Tahun 2005 CUCO-Indonesia menetapkan kriteria Koperasi Kredit Ideal yang meliputi beberapa  komponen antara lain;
  1. Sudah memiliki Badan Hukum Koperasi
  2. Anggota minimal 1000 orang
  3. Total Asset minimal Rp.1.000.000.000,-
  4. Dikelola oleh karyawan atau Manager secara profesional
  5. Pelayanan secara harian (enam hari seminggu)
  6. Memiliki kantor permanent
  7. Memiliki dan menerapkan Perencanaan Strategis
  8. Memiliki Standar Operasional Manajemen (SOM) dan Standar Operasional Prosedur (SOP)
  9. Menerapkan Teknologi informasi ( software computer, Email, website)
  10. Pertumbuhan anggota minimal 35 % pertahun.
                                                                                                       (Data berasal dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar